Description
Sudirman Said merasa beruntung dan berutang besar pada negara setelah berhasil masuk Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Kampus berikatan dinas yang lulusannya menjadi pegawai negeri sipil di pelbagai instansi pemerintah itu bukan saja menjadi jendela buatnya melongok dunia, tetapi juga “sekoci penyelamat” keluarga. Alhasil, sepanjang hidupnya, SS merasa punya kewajiban etis untuk tiada henti membayarnya. Etika seperti itu rupanya ia pelajari dari sang ibu, “Kalau berutang, lunasilah, jangan dikemplang”. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Sudirman syudra yang terentaskan, karena itulah ia gandrung pada meritokrasi. Sudirman selalu geram pada korupsi karena korupsilah yang membuat hak dan kesempatan para syudra sepertinya untuk sama-sama maju secara adil bisa jadi terhambat. Berutang pada negara dan membayarnya, gandrung pada meritokrasi, geram pada korupsi, adalah beberapa indikator dari “berpihak pada kewajaran’’, sebuah prinsip yang terus memandu Sudirman pada sepanjang keterlibatannya di beragam aktivitasnya, baik sebagai pegawai, profesional, pengajar, hingga aktivis. Dalam bahasa akuntan, kewajaran terbaik adalah kewajaran yang tidak diikuti dengan catatan-catatan, atau yang kita kenal dengan istilah “wajar tanpa pengecualian’’. Pemikiran, pandangan, pengalaman, hingga tindakannya dalam beragam aktivitas itu disimpan Sudirman dalam bentuk catatan, transkripsi wicara, tulisan di media massa, maupun dalam bentuk wawancara oleh pewarta. Buku ini adalah rangkuman dari semua itu.
Reviews
There are no reviews yet.